Rabu, Juni 09, 2010

Riset Film Dokumenter

oleh Rhino Ariefiansyah
(Penulis Adalah, Production Supervisor Eagle Awards 2005-2008)

Pendahuluan: Membuat Film Dokumenter, Mencari Keteraturan dan Pola-pola atas Fenomena Sosial yang Ada di Sekitar Kita


Lepas dari segala perdebatan mengenai definisinya, film dokumenter menurut saya adalah sebuah usaha untuk mencari pola-pola; keteraturan-keteraturan tentang fenomena yang ada di sekitar kita. Sebagai sebuah film, keteraturan-keteraturan atau pola-pola tersebut kemudian dirangkai menjadi urutan cerita dalam medium audio visual. Jika kita melihat ke sekeliling kita, banyak fenomena sosial yang ada dan bersifat acak, sebagai contoh dari kasus film “Kepala Sekolahku Pemulung” ada berbagai fakta yang sebelum film itu dibuat, seperti lepas satu sama lain; kemiskinan, guru yang berpenghasilan rendah, stigma tentang pemulung, kepala sekolah yang menjadi pemulung, istri yang sakit keras, rumah yang tidak layak huni, dsb. Tugas seorang pembuat film dokumenterlah untuk merangkai fakta-fakta acak tersebut menjadi sebuah urutan cerita dalam bahasa gambar dan suara. Mana yang lebih dulu dimunculkan? Kemiskinan, profil pemulung, profil kepala sekolah atau yang lainnya?


Lalu jika otoritas dalam penyusunan cerita yang berdasarkan realita tersebut ada pada pembuat film, apakah objektivitas dalam film dokumneter sama sekali tidak ada? Objektivitas dalam film dokumenter itu tetap ada tapi kita tidak dapat menganalogikannya dengan objektivitas yang ada pada ilmu eksakta bahwa 2+2=4. Walau bagaimana pun film dokumenter seperti didefinisikan oleh John Grierson adalah ‘creative treatment of reality’ dan kerja kreatif dalam ranah seni manapun sangat kental dengan nuansa personal: subjektivitas. Tapi jangan dulu terjebak untuk membuat film sesuka hati karena film dokumenter pada akhirnya akan berhadapan dengan pemirsa (audience) yang belum tentu memiliki subjektivitas yang sama dengan pembuat film, karena itu subjektivitas dalam dokumenter juga harus memperhatikan nilai-nilai universal tentang kemanusiaan, kegigihan perjuangan, cinta kasih dan sebagainya. Dengan kata lain subjektivitas dalam dokumenter harus dapat dipertanggungjawabkan, harus bisa diterima oleh logika orang kebanyakan, minimun oleh target audience yang ingin kita jangakau.

Untuk membantu pembuat film mencari ‘keteraturan’ (subjektivitasnya) diperlukan usaha sistematis untuk mengumpulkan data dan kemudian merangkainya. Sistematika itulah yang ingin saya coba jabarkan dalam tulisan ini.



Riset dalam Produksi Dokumenter


Pada sebuah pelatihan praproduksi dokumenter, Rhoda Gruer, tutor yang mengajar saya mengatakan bahwa ada tiga hal penting dalam sebuah produksi dokumenter yaitu: riset, riset, dan riset. Mengapa Rhoda Gruer begitu yakin tentang pentingnya peranan riset dalam produksi dokumenter, hingga dia mengucapkannya tiga kali? Kira-kira itu pertanyaan yang selalu terngiang-ngiang di benak saya setelah saya selesai mengikuti kegiatan pelatihan. Kurang lebih lima tahun setelah saya mengikuti pelatihan itu, sedikit demi sedikit saya mulai memahami betapa riset itu memang sangat penting dalam setiap fase kerja dokumenter; tahap praproduksi, produksi dan pascaproduksi. Tulisan ini saya buat dengan maksud untuk berbagi pengalaman kepada pembaca tentang betapa pentingnnya riset dan pentingnya kesadaran pembuat film untuk mencari keteraturan-keteraturan dan sistematika berpikir dalam setiap tahapan produksi dokumenter.

Sebelum lebih jauh, saya akan mengawali tulisan ini dengan memberikan definisi dari riset itu sendiri. Berdasarkan kamus Oxford, riset (research) adalah the systematic investigation into and study of materials, sources, etc., in order to establish facts and reach new conclusions atau jika diterjemahkan dalam bahasa Indonesia adalah sebuah investigasi dan studi sistematis atas materi, sumber data, dll untuk menetapkan fakta dan mencapai kesimpulan baru. Ada tiga hal yang saya tangkap dari definisi tersebut. Dengan kata lain saya menganggap bahwa riset adalah serangkaian:


1. Kegiatan sistematis.
2. Materi dan sumber data.
3. Fakta dan kesimpulan.



Ide Film: Wahyu Atau Asumsi Awal? Riset dalam Tahapan Pencarian Ide Film

Setiap film dokumenter berangkat dari ide. Pertanyaannya, apakah ide itu datang begitu saja, atau dari sebuah kegiatan sistematis? Perlukah kita membuat riset untuk mendapatkan ide? Berdasarkan pengalaman saya terlibat dalam pelatihan film dokumenter yang diselenggarakan oleh In-Docs, banyak peserta yang datang ke pelatihan dengan ide yang tidak spesifik, kebanyakan dari mereka datang dengan data-data yang masih mentah sangat terbuka untuk dipertanyakan dari berbagai aspek. Tidak jarang peserta pelatihan datang dengan ide besar seperti kemiskinan, kegigihan, perjungan, atau dengan tema bombastis seperti perjuangan masyarakat melawan kapitalisme. Apakah ide-ide itu salah? Tidak juga, namun ide yang masih mentah dan sangat terbuka bisa menyulitkan kita dalam tahapan-tahapan pembuatan film dokumenter berikutnya.

Ide-ide yang terlalu luas dan sulit untuk dijabarkan dalam film, muncul karena ide-ide tersebut tidak diolah, akibatnya ide tersebut hanya akan menjadi pisau tumpul yang sulit digunakan untuk memotong. Mengapa itu terjadi? Banyak pembuat film pemula menganggap bahwa ide itu seperti wahyu yang datang begitu saja. Padahal menurut saya ide itu merupakan sebuah asumsi awal atas sebuah gejala atau fenomena sosial atau alam yang merupakan hasil dari pengalaman dan atau pengamatan yang pernah dialami si pembuat film. Sebagai sebuah asumsi awal, ide film seharusnya ditajamkan lagi dengan melakukan serangkaian kegiatan pengamatan atau wawancara agar ide yang masih begitu luas menjadi lebih sempit dan lebih tajam. Ini penting untuk dilakukan karena dalam kebanyakan kasus, film dokumenter akan terkait dengan beberapa keterbatasan seperti durasi tayang ataupun masalah pendanaan.

Banyak pembuat film pemula menganggap bahwa riset itu adalah kegiatan yang rumit, karenanya mereka menghindari kegiatan ini. Padahal pada tahap munculnya ide sekalipun sudah merupakan sebuah hasil dari kumulasi pengalaman sehari-hari yang menjelma menjadi sebuah ide. Ide dalam kadar tertentu adalah asumsi awal atas sebuah pola, sebuah ketaraturan yang ingin kita sampaikan melalui film dokumenter. Dengan kata lain ide merupakan hasil riset yang bersifat sementara; hasil dari proses sistematis yang seringkali tidak disadari oleh pembuat film. Sebagai contoh: munculnya ide film ‘Suster Apung’ merupakan buah dari serangkaian pengamatan sang pembuat film selama berinteraksi dengan Ibu Rabiah yang kemudian menjadi tokoh dalam film tersebut. Saya yakin bahwa munculnya ide untuk membuat film tentang kegigihan seorang perawat di kepulauan terpencil itu tidak datang begitu saja, melainkan sebagai buah dari proses pengamatan dan interaksi yang berlangsung selama beberapa waktu.

Jadi berhentilah menunggu wahyu di kamar mandi dan mulailah merangkai berbagai fenomena yang ada di sekitar kita, carilah keteraturan, hubungan sebab akibat yang menghubungkan satu gejala dengan gejala lainnya. Sekali lagi ide bukanlah wahyu yang datang begitu saja, ide merupakan pemikiran yang muncul dari berbagai hal yang kita lihat langsung (dari hasil pengamatan dan wawancara) atau tidak langsung (dari bahan bacaan ataupun tontonan).

Walaupun tahap menentukan ide sering dianggap mudah, namun pada kenyataannya selama saya mengikuti berbagai pelatihan pembuatan film, seringkali terjadi perdebatan yang alot dalam menentukan ide. Mengapa demikian? Karena ide haruslah solid dan sebisa mungkin tidak berubah pada tahapan-tahapan berikutnya. Dan, untuk mencapai ide dengan kriteria di atas haruslah ditunjang dengan data-data yang lengkap dan cara berpikir yang logis serta memiliki nilai-nilai universal.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar